Minggu, 01 Juni 2008

sajak-sajak

Pekanbaru hujan malam ini

Kisah ini kutumbuhkan dari negeri asap
malam dingin tersapu gerimis yang berpacu seiring denyut nadi
kunang kunang lelap dalam pelukan malam
sembari membungkus sisa cahaya yang meredup
mata liar perempuan mengintip di seberang jalan
menatap di balik kaca

“hei pejantan dekaplah igauanku ini”

meraba tubuhku ia,
lewat genit tatapan dan gincu tebalnya
berikut, meraba kemaluanku ia,

aih…
aku lupa padamu wanita
kotaku telah menjebakmu dalam kegelisahan

(aku lihat matamu terus menelanjangiku)

akupun menatap matamu
yang mulai berkabut diantara
pencakar langit yang merenggut masa lalu dan masa depan kami

malam dingin malam beku
aku sendiri lelah memenjarakan tubuh
dalam deretan kata kata yang rapuh

kau tahu wanita
sebuah sajak telah kukubur sendiri
karena telah berani memperkosa kebenaran

aih…
haruskah kebenaran itu ditebus
dengan desah nafasmu?

tak jua surut nyalimu wanita
pada kotaku yang telah menjelmakanmu pada kepalsuan

malam dingin, malam beku
gerimis telah memenjarakan kami dalam gigil
tapi tidak kotaku yang haus dengan desah

Pekanbaru, maret 07




***



Renungan Musim-Musim

aku hampa, seperti deretan katakata luka
syairpun lekang sudah pada irama dan aroma

aku hampa, menjaga puncak gunung di wajahmu
angin meluruh pada musim yang hilang tanpa nama
:entah berapa abad sudah
sungai menjelma mimpi
pada air yang lupa tempatnya bermain
menghempas sampah sampah menjadi perahu

kita akan kembali pada musim yang suram
meski matahari akan tetap datang
padaku…
padamu…
dan pada musim itu

II
daun gugur, daun meluruh pada kelopak senja yang rebah
di matamu kutemukan beribu luka
menyayat hingga belati menancap di ujung mata

musim ini kita harus segera pergi
bersama anakanak panah yang lepas dari pelukan busur
meski waktu tak kan pernah mempertemukan kembali

lalu kaupun bunting
serupa langit yang memuntahkan parade bintang

akupun pulang…
pada muara yang pernah mengajarkan aku
melukis wajahmu

III
perawan dan pelangi lahir dan tumbuh diselasela gerimis
sungaisungai leleh memuntahkan wajah sepi

kamu tahu sayang mengapa aku meninggalkan dirimu
pada hari yang subuh ini, pada waktu yang lelah
menitipkan kegetiran tak berujung

lalu malampun pergi
meninggalkan sisa rintihan pada ranjang embun

tahukah kamu sayang
jalanku dan jalanmu
jalan yang lecah kita tempuh, jalan yang pernah menjebak kita
pada rasa yang meluapkan hasrat rimba

kamu tahu sayang mengapa matahari tak kunjung
menyinari wajah kita ini

lalu siangpun lenyap dalam desau musim yang pilu
meninggalkan sisa galau pada debudebu

tahukah kamu sayang
megapa hujan tak kunjung menyirami
rongarongga wajah kita

lalu pelangi tumbuh di wajahmu dan wajahku
menabur pesona warna
kitapun lenyap sayang dalam keindahan
yang kita gamang untuk memaknainya

IV
disini, pernah kutandai
sebuah tanda untuk menandai
mata angin yang mengantarkan pada esok
tak pernah kutemui
meski telah kutorehkan perjalanan
dalam lembaranlembaran waktu
haruskan aku lelah…?
sementara kisah belum berakhir

hatiku belum menjadi batu
atau menjadi bunga layu diselasela batu

bakti akan kulukis pada waktu yang tak kunjung mengupas sejarah
diantara musimmusim yang datang dan pergi

sebuah tanda akan tetap kutandai
disini,
ya, disini
diantara musimmusim yang selalu berganti.

Negeri asap, maret-september 2007


***

Kutemukan jalan pulang

1
kutemui jalan pulang pada matamu yang lelah
ketika matahari telah bangun dari mimpinya semalam
ketika kita telah selesai menuntaskan perjalanan birahi yang melelahkan
kita tumpahkan juga segenap rasa
pada embun dan bisik jangkrik serta derikderik ranjang
kita lukiskan pada dinding, gunung dan bebatuan di beranda depan

apakah aku telah benarbenar menemui jalan itu
sementara dendam ini tak pernah terselesaikan
aku harus membunuh dendam
untuk menuntaskan dendam itu sendiri

labirin sunyi tetap saja mengendap
meski telah kubuka semua jendela dan pintu
meski telah kubunuh semua dendam
dan ku-kubur tanpa nisan

2
kotakota, pulaupulau
tempat kami menjaring dan merajut harihari, mulai melupakan sejarahnya
sungaisungai dan gelombang laut,
menitipkan kesepiannya lewat tsunami dan musim amuk
hutanhutan,
telah rapuh dan melepuh menyisakan asap dan bangkai burung

orangorang hilang ditelan musim
tanpa tahu kemana mereka membangun istana baru
tempat melahirkan pangeran dengan sebilah pisau dipinggang
dan sekepal api di wajahnya
aku menyukai senja karena disitu semua bermuara
tempat mengantarkan matahari kembali menemui para dewi

3
aku lanjutkan segenap pengembaraan
berlayar menuju muara dan dermaga yang berlumut
melalui musim dan waktu yang menitipkan kisahkisah
dan hikayat rajaraja yang dibunuh mahkotanya sendiri

akhirnya aku menemukan jalan pulang
tempat rajaraja dan sajaksajak bermukim
tempat masa lalu dikubur.

Negeri asap, sept ‘07