Minggu, 13 Juli 2008

Telaga Dalam Hatimu

: Bunda Daffa

Jadikanlah aku ikan di telaga hatimu, ketika cinta tak kunjung bertaut renangi jernih muara tempat musim berciuman. Angin yang meliukkan rumpun bambu, asap dari unggun jerami lembab. Kenang jugalah janji yang pernah kita tautkan meskipun badai dan gemuruh lumatkan diriku dalam senggama waktu yang ragu. Lumatlah diriku dalam-dalam, mungkin kembara ini tak kunjung selesai. Mungkin diriku adalah larungan sajak dalam lautan kata-kata yang tak sempat kuberi nama, mungkin saja muram. Tapi sudah usangkah kitab yang sempat kita beli di loakan saat gerimis telah memenjarakan waktu kita dititik itu?, terus sajalah kau berjalan susuri pesisir yang basah

*

Cukuplah sudah kau menangis, seperti hujan yang tak kunjung reda di ujung kota. Rajutlah debu-debu dan pintal lamunanmu karena senja semakin padam. Jika kau gelap bisikanlah namaku menjadi suluh, ketika kata-kata yang pernah kueja menggigilkan tubuhmu, kenanglah manis liurku menjadi anggur untuk menghangatkan.

Cukuplah sudah kau menyepi, musim telah mengajarkan kita tertawa. Masihkah kau simpan lukisan hati dan bibir yang retak tempat sebuah janji pernah kita tanam, lalu berbuah menjadi airmata.

Kemudian kota kita dipenuhi baliho, kita saksikan wajah kita ada disana bersama catatan-catatan yang pernah kita gores. Tapi kau lupa sepatah kata yang pernah kau simpan di dalam dompet. Benarkah kau simpan atau kau curi dari lemari pakaian kita yang usang? Kita dan kota kita pun semakin tua, istana-istana telah runtuh, janji-janji telah luruh, hati-hati telah keruh, sejarah menjadi musuh, kugandeng juga dirimu menghindari rusuh.

Kota kita akhirnya menjadi abu, menyisakan puing dan jejak yang dalam. Bunyian hanya kenangan dan lagu-lagu adalah dendam.

**

Kini aku belajar untuk menangis, menyulam airmata menjadi gerimis.Terasa asin serasa janji kita yang miris.


Kini akupun belajar menyepi, menghapal, menghayal dan menghanyutkan diriku bersama ingatan, bukankah wajahmu telah kusumpah menjadi perahu?