Kamis, 28 Agustus 2008

Cerpen

Lampu Merah Berdarah


Terik matahari menjilat ubun-ubun. Debu-debu beterbangan menggambarkan kerisauannya pada kota ini. Lalu lalang kendaraan nyaris tak pernah berhenti, mengalir seperti darah yang bersemayam di tubuh Parti. Kesempatan orang-orang menyeberang hanya ketika lampu merah menyala. Itu pula kesempatan bagi Parti mengais sedikit rejeki dari pengendara kendaraan untuk melangsungkan hidupnya. Ia harus pandai-pandai mengira-ngira kapan lampu hijau akan menyala, jika tidak sumpah serapah pengemudi akan didapatinya karena menghambat arus lalu lintas di persimpangan itu. Sumpah serapah seakan sudah menjadi tembang pilu di telinga Parti.
Dua tahun belakangan Parti hidup di antara lalu lalang kendaraan. Asap hitam dari kenalpot kendaraan sudah menjadi nafas dalam kehidupannya. Bising deru jalanan dan kelakson kendaraan seakan menjadi lagu kesepian dan kesedihan. Airmata sudah lama kering dan tidak berguna lagi merembes dari kelopak matanya.

Parti menggantungkan hidupnya di kota ini. Kota yang menurut orang-orang tempat yang menjanjikan berjuta harapan dan impian. Pusat-pusat perbelanjaan tumbuh subur seperti cendawan di musim hujan, setiap waktu ratusan petak ruko berdiri tidak terkendali berjejer dan bersusun seperti gerbong-gerbong kereta api yang siap diberangkatkan. Hotel-hotel dan perumahan mewah silih berganti dibangun. Jalanan dalam kota terus diaspal mulus setiap tahunnya, taman-taman kota setiap saat diubah wujudnya seperti menyolek gadis calon penganten, sementara di pinggiran lihatlah! Masyarakat hidup berkubang lumpur atau hidup di bantaran sungai yang sudah tidak bersahabat lagi. Limbah industri, sampah-sampah rumah tangga telah membunuh ekosistem sungai. Penggusuran dimana-mana dengan alasan mereka merusak wajah kota yang sedang bersolek indah, orang-orang berontak, pedagang-pedagang kaki lima dihajar pentungan aparat keamanan.

Tetapi ribuan orang terus berdatangan ke kota ini. Berdatangan seperti lebah, Menambah sesak populasi dan menimbulkan kerawanan sosial. Perampokan, pembunuhan, jambret, pemerkosaan, prostitusi, perjudian mulai dari kelas kampung hingga kelas elite menghiasi halaman surat kabar. Parti tidak punya pilihan lain selain bertahan dalam kondisi seperti itu.

***

Parti ingat, lima tahun yang lalu. Sukijo. Banyak jejaka kampung yang menaruh hati pada Parti tersebab ia adalah primadona di kampungnya, tapi semua tak mampu merubuhkan cinta Parti pada Sukijo. Ya Sukijo lelaki kota, lelaki kampung yang sudah menjadi lelaki kota. Setiap kepulangan Sukijo ke kampung itu selalu menjadi debaran bagi gadis-gadis kampung. Sukijo sangat ahli menebarkan racun cintanya kepada semua gadis. Kota telah mengajarkan ia dengan keahlian itu. Gadis-gadis berebut memakan umpan cinta Sukijo. Parti terperdaya ia memakan umpan itu. Ia telah diracuni oleh cintanya terhadap Sukijo.

Parti membayangkan dirinya menjadi permaisuri Sukijo. Membawa imajinasinya kepada gemerlap hidup di perantauan dengan lelaki pujaan hatinya, Sukijo. Parti telah menetapkan hatinya. Pilihan yang menurutnya adalah sebuah masa depan. Masa depan dengan kehidupan yang sangat indah.

“Kamu yakin dengan pilihanmu…” tanya Tarmi suatu malam dibawah siraman rembulan.

“Ya aku sudah menetapkan pilihanku,” Parti tersenyum bangga.

“Tidakkah kamu bisa membuka sedikit matamu dan mencoba menyelidiki siapa Sukijo sebenarnya?”

“Maksud kamu apa?” Parti tidak senang. Ia tidak rela Sukijo dicurigai oleh sahabatnya itu.

“Maksudku lebih baik kamu menyadari dari sekarang ketimbang belakangan hari”

“Dengar ya Tar, aku tahu kamu cemburu, aku tahu kamu juga menaruh hati pada Mas Kijo” Parti naik darah sahabatnya makin menyudutkan Sukijo di hadapannya.

“Ya aku pernah menaruh hati padanya, pernah termakan rayuan gombalnya itu, tapi…”

“Cukup! Jangan kau teruskan kata-katamu itu, aku muak kau terus menyudutkan mas Kijo” Parti beranjak, hatinya luka dengan kata-kata sahabatnya itu. pilihan sudah ditentukan dan tidak bisa ditentang lagi, bahkan oleh orangtuannya sendiri. Parti tetap ngotot ingin kawin dengan Sukijo dan segera boyongan ke tanah rantau di seberang pulau.

Akhirnya berlabuhlah Parti di kota ini. Seberang pulau. Setumpuk angan-angan Parti bersandar seiring kapal yang menyandarkan badannya di tepi dermaga. Mimpinya tertanam serupa jangkar yang ditanam ke perut pelabuhan. Parti membayangkan dirinya dalam gemerlap siang malam, hiruk pikuk kota yang tak pernah lelah. Malam terasa singgah sejenak di kota ini. Jalanan bertabur cahaya. Tidak seperti di kampung Parti, malam ibarat kematian, sunyi senyap, tak ada yang namanya taman hiburan, pub, karaoke, jalan-jalan ke Mal atau nonoton di bioskop super moderen. Yang ada hanya kentungan peronda atau sesekali pagelaran wayang semalam suntuk. Pada malam terakhir ramadahan baru kampungnya agak ramai. Biasanya orang-orang pada mudik dari rantau. Menjenguk sanak saudara sambil silaturahmi, indahnya Idul Fitri. Tetapi setelah lebaran berlalu berangsur-angsur orang kembali ke rantau. Tinggal kampung kecil itu dalam kebisuan dan kesunyiannya.

Semua kebanggan dan harapan yang telah dibangun Parti perlahan-lahan digerus oleh kejamnya kota ini. Bualan Sukijo tentang kesuksesannya di rantau hanya pemanis racun cintanya. Tak ada rumah yang besar dengan halaman yang dipenuhi bunga-bunga yang indah. Di kota ini Sukijo hanya menempati sebuah rumah kecil di bantaran sungai yang penuh lumpur, tak terawat dan terasing. Tak ada profesi Sukijo sebagai kontraktor di kota ini sebagaimana yang di sampaikannya kepada Parti waktu itu. Di kota ini Sukijo hanya kerja serabutan. Kadang jadi kuli bangunan kadang kuli pelabuhan, kadang sampai tidak bekerja hingga tiga mingguan lebih.
Hambarlah hati Parti. Ia sangat muak dengan segala kebohongan itu. Tapi apa yang hendak dikata semua telah terjadi, nasi telah menjadi bubur. Berhari-hari Parti hanya menangis dan meratapi kebodohannya. Kelakuan Sukijo makin merunyamkan kehidupan Parti. Setiap gajian setengahnya dihabiskan Sukijo di meja judi dan mabuk-mabukan. Cincin yang pernah diberikan Sukjio tempo hari saat menjerat cintanya ternyata gadaian lawannya berjudi.

Berbulan-bulan setelah itu Sukijo mulai jarang pulang. Kalaupun pulang hanya melampiaskan kejantanannya. Dengan meninggalkan beberapa potong pakaian kotor dan sedikit uang ia pergi lagi. Beberapa hari setelah kepulangan terakhir polisi mendatangi rumah mereka.

“Kami harap ibu bisa bekerjasama dengan kami.”

“Saat ini saya sendiri tidak mengetahui keberadaan suami saya, seminggu yang lalu ia terakhir pulang, itupun hanya semalam.” Mata Parti basah
“Baiklah, segera kabari kami bila ia pulang. Jika tidak ibu bisa kami jerat dengan hukum karena melindungi pelarian penjahat” ancam polisi. Mereka berlalu.
Selepas itu hari-hari Parti hanya airmata. Sukijo kini berstatus buronan. Ia terlibat dalam berbagai tindak kejahatan. Namanya mulai tenar, sering tampil di halaman koran kriminal. Aksi Sukijo dan komplotannya terkenal nekat dan sadis. Mereka tak segan-segan menghabisi nyawa korbannya bila sudah kepepet. Terakhir mereka mencoba merampok sebuah bank sebelum akhirnya digagalkan oleh polisi. Seorang satpam tewas tertembak saat kejadian. Beberapa orang anak buahnya tertangkap. Dari situlah polisi menelusuri jejak Sukijo. Tetapi ia cukup lihai dan licin. Polisi belum dapat meringkusnya, ia berhasil meloloskan diri saat terjadi penggerbekan di markas komplotan itu.

***

langit menabur cahaya. Bulan tampak berseri. Daun-daun kering bergemerisik karena diinjak. Seseorang megendap-endap di samping rumah Parti. Diketuknya jendela kamar.
“Parti…parti….” Orang itu berbisik memanggil. Parti tersentak dari tidurnya, ia dicekam ketakutan.

“Parti…parti….” Suara itu memanggil lagi sambil mengetuk daun jendela. Samar-samar Parti mengenal suara itu. Ia memberanikan diri membuka jendela.
“Mas Kijo!!!?” ia berteriak setengah kaget.
“Sstt… jangan keras-keras” Sukijo meletakkan telunjuk di mulutnya. “bukakan pintu cepat”
Parti bergegas membuka pintu belakang. “apa yang terjadi mas, mengapa kamu dicari polisi?”
Sukijo diam saja. Diambilnya kursi untuk naik ke atas loteng. Tangannya menggapai meraih sebuah bungkusan. Ia memeriksa isi bungkusan itu. Sebuah pistol dan beberapa butir peluru. Buru-buru dibungkusnya kembali benda itu sebelum Parti sempat melihat. Ia selipkan dipinggangnya.
“Aku tidak bisa berlama-lama, aku harus segera pergi” Sukijo melangkah ke kamar, mengganti pakaiannya. Sudah tiga hari pakaian itu melekat di tubuhnya. Aromanya menguap.
“Jangan pergi mas, jangan tinggalkan aku” parti menarik tangan suaminya.
Sukijo berusaha melepaskan pegangan isterinya. Parti menggengam lebih kuat.
“Aku mohon lepaskan aku Parti, polisi masih berkeliaran mencariku. Aku tak punya pilihan.
“Aku harus pergi…” Sukijo tak kuasa membentakkan pegangan tangan isterinya, ia memohon sangat.
“Aku masih bisa memaafkan segala kebohonganmu selama ini mas, tapi aku tak akan memaafkanmu bila meninggalkanku seperti ini” genggaman Parti terlepas. Tubuhnya terguncang menahan isak.

Sukijo tertunduk lesu di kursi rotan yang mulai rapuh. Ia bimbang saat ini. Pilihannya ada dua, tetap disitu sampai polisi datang meringkusnya dan mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di balik terali, atau kabur saat itu juga.

Di luar terdengar derap langkah diiringi suara orang berbicara. Sukijo langsung waspada mengintip dari jendela. Ketakutan mengajarkan ia selalu waspada. Makin lama suara itu makin mendekat. Ketiga orang itu membawa senter dan pentungan kayu. Sukijo memastikan mereka hanyalah warga yang sedang ronda, ia tetap waspada. Orang-orang itu agak lama berdiri di depan rumahnya. Mereka mengarahkan senter ke semak-semak samping rumah itu. Sukijo memberi tanda kepada Parti untuk tidak bersuara.
Setelah memastikan situasi, ketiga orang itu berlalu. Sukijo menarik nafas dalam-dalam. Parti masih terisak-isak di sudut ruangan.
Sukijo masuk lagi ke dalam kamar. Ketika keluar ia sudah menyarungkan jaket kulit yang lusuh.
“Maafkan aku Parti, aku harus segera pergi.” Dipeluknya Parti agak lama, diciumnya kening Parti. Inilah kali pertama Sukijo bersikap lembut kepada Parti setelah malam-malam pertamanya dulu.
Sukijo keluar lewat pintu belakang, sebentar saja ia sudah lenyap dalam kegelapan malam, hanya daum-daun yang bergoyang menemani pelariannya.

***

Malam itu adalah malam terakhir Parti bertemu dengan Sukijo. Sejak saat itu Sukijo tak pernah kembali dan menghilang tanpa jejak dari kehidupan Parti. Perhatian polisi mulai berkurang terhadap kasus Sukijo, barangkali karena tidak ada lagi aksi kejahatan yang dilakukannya. Perlahan nama Sukijo tak lagi menghiasi halaman koran kriminal, tetapi ia tetap target utama daftar pencarian orang.
Parti mulai membiasakan hidup sendiri. Ia sadar tak ada lagi tempat bergantung di kota ini. Tak ada lagi angan-angan yang pernah ia sandarkan di pelabuhan kota ini. Tak ada lagi mimpi bagi Parti karena untuk bermimpi saja ia sudah sangat takut.
Ia kini berjualangan asongan di perempatan lampu merah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk pulang kampung ia tak berani, teramat pahit baginya untuk kembali ke pangkuan orangtuanya setelah pemberontakan yang mengurai airmata ibu bapaknya. Saat itu ia telah buta dan dibutakan cinta Sukijo. Ia ingat omongan Tarmi yang pernah menasehatinya. Tapi Parti teramat keras, sekeras batu. Sekeras itupulakah cintanya untuk sang pujaan hatinya? Sukijo. Mengenang nama itu ia sangat terluka.
Banyak godaan yang datang menghampiri Parti. Selain masih muda dan cantik, Parti memiliki kemolekan tubuh yang mengundang kumbang-kumbang liar. Ada yang teranga-terangan ingin mempersuntingnya, lain waktu adapula mami-mami yang menawarkan materi yang berlimpah kepada Parti bila mau menjadi anak buahnya. Parti tidak menanggapi semua godaan itu, ia teramat kukuh dengan harga dirinya. Ia merasa masih menjadi milik Sukijo, meskipun ia tidak tahu apakah lelaki itu masih hidup atau telah mati. Dalam hatinya Pari masih mengharapkan kepulangan Sukijo. Kepulangan yang entah bagaimanapun bentuknya.
Di jalananpun seperti itu. Meski dibalut penampilan kumuh orang-orang pinggiran, tapi mereka masih bisa menangkap pesona kecantikan Parti. Tanpa basa basi pengendara yang gatal sering menawarkan kepada Parti untuk diajak short time. Kalau sudah begitu Parti buru-buru saja menghindar.
Sebenarnya Parti berharap sekiranya ada dari sekian banyak orang-orang yang lalu lalang di perempatan ini mau menjadikannya pembantu rumah tangga. Tapi sayang kejujuran dan kepercayaan sudah langka di kota ini. Orang-orang kaya tidak mau sembarangan mencari pembantu.
***

Langit berubah mendung siang ini, awan berarak menggumpal hitam. Dagangan Parti belum berapa terjual, padahal arus lalu lintas cukup padat sejak tadi. Lampu merah menyala, Parti menyodorkan dagangannya berebutan, ia tidak sendirian. Ia harus bersaing dengan pedagang asongan lainnya, juga anak-anak penjual koran, pengemis dan pengamen. Di perempatan ini berpola three stop one go. Lampu hijau hanya menyala pada satu ruas jalan sedangkan di ruas jalan yang lain menyala lampu merah. Begitu terus sesuai dengan putaran arah jarum jam.
Dua ratus meter dari tempat Parti berdiri, sebuah sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi. Tidak jauh di belakang sepeda motor itu, meluncur pula mobil patroli polisi. Bunyi sirine meraung-raung. Semua terpana melihat kejadian itu.
“Perampokan-perampokan…” orang-orang berteriakan tapi tak satupun yang berani bertindak karena perampok itu mengacungkan senjata. Sepeda motor itu menerobos lampu merah. Parti yang sedang menyodorkan uang kembalian tidak menyadari peristiwa itu, karena berlangsung sangat cepat dan tiba-tiba. Malang bagi Parti sepeda motor itu menyerempet tubuhnya. Ia terpental dan terseret beberapa meter. Kepalanya bersimbah darah. Sementara kedua perampok terjungkal ke dalam parit sisi jalan. Tanpa ampun massa langsung menyerbu dan menghadiahi pukulan pada kedua perampok itu. Keduanya babak belur tak berbentuk.
“Bakar…bakar….” Teriak massa.
Polisi yang dari tadi mengejar tak mampu mengendalikan massa yang banyak dan sudah beringas. Sebelum masssa sempat membakar, polisi menembakkan pistol ke udara. Massa bersurut. Polisi mengamankan kedua perampok. Sesekali ada juga yang mencuri menghadiahi pukulan ke kepala perampok itu.
Parti segera mendapat pertolongan. Polisi melarikan Parti ke rumah sakit. Sayang karena darah yang banyak keluar, nyawa Parti tidak dapat diselamatkan.
Langit semakin gelap. Gerimis mulai turun satu-satu. Tetes-tetes air mulai menghapus darah Parti yang tumpah dijalan itu. Menghapus semua duka dan derita Parti di kota ini. Esok, pagi-pagi sekali muncul berita di koran. “Sukijo buronan yang selama ini paling dicari diringkus setelah melakukan perampokan di sebuah Bank. Sayang, nyawa seorang wanita yang tidak dikenal menjadi tumbal penangkapan sukijo”.***

Pekanbaru, 2006-2008

Riau Mandiri 27 Jan 2008



Senin, 25 Agustus 2008

JIKA TUBUHMU ADALAH, DAN AROMA ITU

Jika tubuhmu adalah pulau
Sudikah hatimu kujadikan pelabuhan
Tempat kita menanti senja
Biarkan siluet tubuh kita
Sama-sama telanjang
Hmm, aroma rambutmu
Sudikah untuk kuhirup seribu tahun lagi

“tapi cinta adalah kecemasan”

jika tubuhmu adalah malam
sudikah hatimu kujadikan suluh
tempat kita menanti subuh
biarkan embun membasuh
persetubuhan kita yang rapuh
hmm, aroma tubuhmu
mengingatkan aku pada adam yang khilaf

“bukankah cinta juga kegelisahan?”

Jika tubuhmu adalah puisi
Sudikah hatimu kujadikan intonasi
Tempat kita merintih
Biarkan suara kita lirih
Menyanyat kenangan yang perih
Hmm, linangan air di matamu
Mengingatkan aku tentang umur kita yang senja

“meskipun cinta kita tak terkarang”

Jika tubuhmu adalah pelangi
Sudikah hatimu kujadikan sunyi
Tempat kita memaknai bunyi
Bukankah kehidupan dijalin mimpi
Hmm, aroma tubuhmu
Sudikah kubangun istana diatasnya?

“terkadang cinta memang meradang”

Jika tubuhmu adalah tubuh itu
Sudikah hatimu kujadikan hati itu
Tempat kita menaruh cinta
Biarkan segala peristiwa merangkai cerita
Hmm, aroma tubuhmu
Aroma tubuh itu…

Pekanbaru, Juli 2008