Rabu, 13 Oktober 2010

1
kuasah katakata menjadi angin, katakanlah cintaku seperti batu yang bertimbunan di lubuk hatimu kepada siapa nak dikabarkan lapar ketika siang ini perut belajar membaca bismillah...? akulah angin yang membuat sarang di telingamu serupa azan yang datang mengusir kantuk, kuasah katakata menjadi angin agar kelak kita tak luput dalam sujud...

2
masihkan ingat titik nol di kota kita, tempat pesawat dikutuk menjadi batu, pesawat yang lupa warna dasarnya bisa jadi ia berjubah melayu tapi ia lupa siapa yang mengutuknya serupa malinkundang yang disumpah ibu... aku cari janji kita disana, bukankah kau ingat sepucuk surat pernah kita tanam dibawah tiang lampu merah yang warnanya sudah pucat dimakan hujan dan matahari. kutunggu kau di titik nol kota kita sayang...

3
hujan turun di kotamu, membasahi balihobaliho para pejabat yang tak henti tersenyum... dengan apa kumaknai senyum mereka semantang kita kian jauh tersuruk rumpun ilalang di sudut kota yang lain. kutanan sekuncup rindu pada gerimis yang belajar menghujam hatimu agar kau kelak memahami bahwa kita tak sekadar melawan nasib tapi meniti takdir yang sudah tersurat, hujan turun lagi di kotamu sayang...

Senin, 11 Oktober 2010

ia petarung nasib yang mengajarkanku mengasah pisau,
bertahun kami berladang di punggung ibu. ia mengajarkanku tentang
sujud menghapal bau tanah, melawan hujan yg kerap turun senja hari, berpantang
menunjuk pelangi yg jatuh di pemandian. ia juga mengajarkanku
membaca alif,bertahun lampau hanya koran usang yang ia hadiahi
ketika pulang dari rantau yang jauh, katanya "tak ada orang menjual
martabak kesukaanmu..."
kucari alamatmu di kota kita yang riuh... jalanan menjelma ular dikepalaku, gedunggedung menjelma monster, mobilmobil menjelma semut yang berbaris menuju hatimu...sungaisungai meluapkan muntahan mabuk semalam, lampu merah mengusap matanya yang kelilipan... balihobaliho seperti mengejek kebodohan kita... masihkah alamatmu di tempat dulu? tempat kita menulis catatan perjalanan yang tak tuntas kita selesaikan...?
aku tak peduli apakah catatan ini menjadi puisi, sebab begitu kulahirkan ia menjelma menjadi perahu di luasnya lautan tafsir, aku berhak memberinya nama, tapi tak punya kuasa menggariskan nasib untuknya, aku tak kuasa membangun sepetak rumah untuknya, rumah tempat ia berterteduh dari segala risau, sebab rumah kardus kami telah diamuk orang liar tahuntahun lampau, aku tak tahu apakah yang kutulis adalah sebuah puisi.