seperti musim yang gundah
deretan angka dan hujan luruh
seperti waktu itu,
kemarau tak menjanjikan apa-apa
selain aroma asap dan bangkai burung
segenap sepi yang berpilin
kita masih saja menyisakan tangis
kanak-kanak kita pendam
memelihara dendam terpasung
kita kuyup oleh airmata
tangan ibu yang keriput
leher ayah yang mengerut
bakti ini tak pernah sudah
padamu ibu
padamu ayah
Pekanbaru Juni 2008
aku ingin kembali ke masa itu... menikmati setiap lekuk sawah dan ladang menikmati aroma daun bawang menikmati kicau burung dan desiran daun bambu menikmati setiap nyanyian kesunyian menikmati riak air berkecipak di bebatuan menikmati aroma unggun dari jerami lembab ini tanah ibu... tanah yang hilang...
Jumat, 15 Agustus 2008
Sembilu Ibu
Dikedalaman waktu, aku sembilu
Yang menggurat sebongkah salju
Pada putih hatimu ibu
Setiap keberangkatan adalah ragu
Setiap kedatangan adalah gagu
gumam menggulung diriku dalam kecemasanmengintai lekuk nafas
yang tak habis menghisap darahku dalam darahmu
aku adalah sembilu ibu
adalah sembilu itu ibu…
Pekanbaru, Juli 2008
Yang menggurat sebongkah salju
Pada putih hatimu ibu
Setiap keberangkatan adalah ragu
Setiap kedatangan adalah gagu
gumam menggulung diriku dalam kecemasanmengintai lekuk nafas
yang tak habis menghisap darahku dalam darahmu
aku adalah sembilu ibu
adalah sembilu itu ibu…
Pekanbaru, Juli 2008
Minggu, 10 Agustus 2008
Mozaik Kelahiran
R.A. Daffa
sampai perjalan tanpa peta di kota utara setelah hari hari panjang menatah langkah dan meniti jejak garis yang kabur dibasuh kabut
menanam benih di ranjang waktu menyabit ilalang ranggas di padang musim
monolog cinta dan desau angin
ingatkan jejak tentang kepulangan
perjalanan tak berujung di sini
ikuti liukan daun dan tuju sarang burung merpati
teruskan catatan yang belum selesai ini, karena nanti kita bersua dalam sebuah kitab
biarkan riwayat menjadi firman yang mungkin melahirkan ribuan terjemahan
melahirkan ribuan tafsir
pecahkan lampu-lampu
agar gelap mengajarkan kita bersemedi,
agar hitam mengajarkan kita mati
sampai perjalanan di kota utara
tanpa peta dan kata-kata
*
monolog rindu, rumah yang beku
satu persatu angka-angka yang luruh
mengingatkan gerimis yang mendendangkan suara ibu
mengaramkan perahu, menghanyutkan kayu-kayu
menghempaskan daun pintu
“hidup adalah berkejaran dari segala pelarian”
kemana kita nak suakan kerinduan?
sementara bising melumatkan tubuh dalam aroma pesing dan wajah asing
tumpah juga airmata di kota utara
**
monolog bisu, arah yang ragu
ketika musafir hilang di persimpangan kalimat
sudikah sajak menjelma kompas, tak sebatas imajinasi dari lautan kata-kata basi
di selembar koran usang, sisa pembungkus gorengan, tak putus berita-berita menyeramkan
“uh… perih rindu tak terpejam”
Ratap ku ratap si malin kundang
“mak telanlah sumpah itu”***
sampai perjalan tanpa peta di kota utara setelah hari hari panjang menatah langkah dan meniti jejak garis yang kabur dibasuh kabut
menanam benih di ranjang waktu menyabit ilalang ranggas di padang musim
monolog cinta dan desau angin
ingatkan jejak tentang kepulangan
perjalanan tak berujung di sini
ikuti liukan daun dan tuju sarang burung merpati
teruskan catatan yang belum selesai ini, karena nanti kita bersua dalam sebuah kitab
biarkan riwayat menjadi firman yang mungkin melahirkan ribuan terjemahan
melahirkan ribuan tafsir
pecahkan lampu-lampu
agar gelap mengajarkan kita bersemedi,
agar hitam mengajarkan kita mati
sampai perjalanan di kota utara
tanpa peta dan kata-kata
*
monolog rindu, rumah yang beku
satu persatu angka-angka yang luruh
mengingatkan gerimis yang mendendangkan suara ibu
mengaramkan perahu, menghanyutkan kayu-kayu
menghempaskan daun pintu
“hidup adalah berkejaran dari segala pelarian”
kemana kita nak suakan kerinduan?
sementara bising melumatkan tubuh dalam aroma pesing dan wajah asing
tumpah juga airmata di kota utara
**
monolog bisu, arah yang ragu
ketika musafir hilang di persimpangan kalimat
sudikah sajak menjelma kompas, tak sebatas imajinasi dari lautan kata-kata basi
di selembar koran usang, sisa pembungkus gorengan, tak putus berita-berita menyeramkan
“uh… perih rindu tak terpejam”
Ratap ku ratap si malin kundang
“mak telanlah sumpah itu”***
Pekanbaru, Juli 2008
Langganan:
Postingan (Atom)