Jumat, 15 Agustus 2008

Bakti Tak Pernah Sudah

seperti musim yang gundah
deretan angka dan hujan luruh
seperti waktu itu,
kemarau tak menjanjikan apa-apa
selain aroma asap dan bangkai burung
segenap sepi yang berpilin
kita masih saja menyisakan tangis
kanak-kanak kita pendam
memelihara dendam terpasung
kita kuyup oleh airmata
tangan ibu yang keriput
leher ayah yang mengerut

bakti ini tak pernah sudah

padamu ibu
padamu ayah

Pekanbaru Juni 2008

Sembilu Ibu

Dikedalaman waktu, aku sembilu
Yang menggurat sebongkah salju
Pada putih hatimu ibu
Setiap keberangkatan adalah ragu
Setiap kedatangan adalah gagu
gumam menggulung diriku dalam kecemasanmengintai lekuk nafas
yang tak habis menghisap darahku dalam darahmu
aku adalah sembilu ibu
adalah sembilu itu ibu…

Pekanbaru, Juli 2008

Minggu, 10 Agustus 2008

Mozaik Kelahiran

R.A. Daffa

sampai perjalan tanpa peta di kota utara setelah hari hari panjang menatah langkah dan meniti jejak garis yang kabur dibasuh kabut
menanam benih di ranjang waktu menyabit ilalang ranggas di padang musim
monolog cinta dan desau angin
ingatkan jejak tentang kepulangan
perjalanan tak berujung di sini
ikuti liukan daun dan tuju sarang burung merpati
teruskan catatan yang belum selesai ini, karena nanti kita bersua dalam sebuah kitab
biarkan riwayat menjadi firman yang mungkin melahirkan ribuan terjemahan
melahirkan ribuan tafsir
pecahkan lampu-lampu
agar gelap mengajarkan kita bersemedi,
agar hitam mengajarkan kita mati

sampai perjalanan di kota utara
tanpa peta dan kata-kata

*
monolog rindu, rumah yang beku
satu persatu angka-angka yang luruh
mengingatkan gerimis yang mendendangkan suara ibu
mengaramkan perahu, menghanyutkan kayu-kayu
menghempaskan daun pintu

“hidup adalah berkejaran dari segala pelarian”

kemana kita nak suakan kerinduan?
sementara bising melumatkan tubuh dalam aroma pesing dan wajah asing

tumpah juga airmata di kota utara

**

monolog bisu, arah yang ragu
ketika musafir hilang di persimpangan kalimat
sudikah sajak menjelma kompas, tak sebatas imajinasi dari lautan kata-kata basi

di selembar koran usang, sisa pembungkus gorengan, tak putus berita-berita menyeramkan
“uh… perih rindu tak terpejam”

Ratap ku ratap si malin kundang
“mak telanlah sumpah itu”***

Pekanbaru, Juli 2008